Archive for Minyak Jarak

Biodiesel adalah Solar masa depan

Sejak awal Rudolf Diesel sang penemu mesin diesel memang memperkenalkan mesin diesel yang berbahan bakar minyak kacang. Ia mendemonstrasikan mesin tersebut dalam World’s Exhibition di Paris, 1900. Dalam perkembangannya, bahan bakar solar dari turunan minyak bumi lebih banyak digunakan.

Dengan harga yang murah, kinerja, dan subsidi pemerintah, bahan bakar dari minyak bumi menjadi pilihan selama bertahun-tahun. Namun, ketergantungan impor dan kapasitas produksi dalam negeri yang tidak mampu mencukupi kebutuhan menuntut dikembangkannya bahan bakar alternatif yang lebih murah dan tersedia di alam.

Biodiesel telah terlahir kembali dan mulai meluas penggunaannya di berbagai negara. Kesadaran itu pun muncul di Indonesia sejak krisis keuangan dan terus meningkatnya impor bahan bakar. “Kalau Brazil bisa mengganti 20 persen konsumsi bahan bakar minyak dengan biodiesel, mengapa kita tidak,” kata Makmuri Nuramin, Manajer Teknik Balai Rekayasa Desain dan Sistem Teknologi BPPT yang mengembangkan teknologi produksi biodiesel berbahan CPO (crude palm oil) dari kelapa sawit.

Secara teknis, biodiesel memiliki kinerja yang lebih baik daripada solar. Solar yang dicampur biodiesel memberikan angka cetane yang lebih tinggi hingga 64. Sebagai perbandingan, solar biasa memberikan angka cetane 48 sedangkan pertamina DEX (diesel environment extra) 53. Semakin tinggi angka cetane semakin aman emisi gas buangnya.

Pemakaian biodiesel juga tidak memerlukan modifikasi mesin, berfungsi sebagai pelumas sekaligus membersihkan injector, serta dapat mengurangi emisi karbon dioksida, partikulat berbahaya, dan sulfur oksida.

Biodiesel atau methyl ester diperoleh dari proses methanolisis minyak/lemak, menggunakan reaksi trans-esterifikasi ataupun esterifikasi dengan katalis basa atau asam dan metanol. Hasil pencucian dan pengeringan menghasilkan biodiesel yang siapa dipakai. Dari 1 kilogram bahan baku bisa menghasilkan sedikitnya 1 liter biodiesel. Sedang distilasi limbahnya menghasilkan gliserol dan metanol yang dapat digunakan kembali. Meski hanya sekitar 10 persen, gliserol menjadi produk sampingan yang juga bernilai ekonomis.

Selain CPO masih ada lebih dari 40 jenis minyak nabati yang potensial sebagai bahan baku biodiesel di Indonesia, misalnya minyak jarak pagar, minyak kelapa, minyak kedelai, dan minyak kapok. Meskipun tidak menghasilkan minyak sebesar kelapa sawit, pengembangan biodiesel dapat menyesuaikan potensi alam setempat.

Di samping sumber bahan bakunya melimpah dan terbarukan, biaya produksi lebih murah. Rata-rata biaya produksinya antara Rp 600 hingga Rp1.000 per liter. Sebagai pionir biodiesel di Indonesia, BPPT telah mengembangkan teknik produksi biodiesel termasuk rancang bangun pabriknya. Upaya tersebut telah menghasilkan empat buah paten dan pabrik pengolahan berskala kecil 1,5 ton biodiesel per hari di Puspiptek Serpong dan skala menegah 8 ton per hari di Riau. 

Meskipun baru tahap proyek percontohan, seluruh produksinya diserap pasar, khususnya untuk perusahaan yang dituntut menurunkan kadar emisi bahan bakar. Saat ini sudah ada sekitar sepuluh perusahaan swasta yang menjadi konsumen tetap Solarmax, nama dagang biodiesel, termasuk B10, untuk 35 kendaraan operasional di lingkungan BPPT.

“Pabrik pengolahan biodiesel tidak membutuhkan biaya investasi besar sehingga dapat dikembangkan melalui unit kecil dan dikelola oleh usaha kecil dan menengah (UKM),” kata Makmuri. Sebagai gambaran, pabrik dengan kapasitas produksi 3 ton per hari hanya membutuhkan investasi Rp3,9 miliar dan masa pengembalian sekitar 3 tahun.

Sebagai bagian blueprint pengelolaan energi nasional (PEN), target produksi biodiesel sebesar 720 kiloliter pada tahun 2009 untuk menggantikan 2 persen konsumsi solar hanya akan tercapai jika terdapat 25 unit pengolahan berkapasitas 30 ribu ton per tahun. Meskipun demikian untuk mencapai target mengganti 5 persen konsumsi solar 2025, tidak menutup kemungkinan pembuatan pabrik berkapasitas besar hingga 100 ribu ton per tahun yang memerlukan investasi masing-masing sekitar 100 miliar.

Indonesia sangat kaya akan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku biodiesel. Sebagai produsen CPO atau minyak sawit terbesar kedua di dunia, Indonesia sangat potensial sebagai produsen biodiesel dengan memanfaatkan minyak yang berbasis sawit, baik CPO itu sendiri maupun dari turunannya.

Produksi CPO tahun 2003 telah mencapai tak kurang dari 9 juta ton dan tiap tahun mengalami kenaikan dapat mencapai 15 persen per tahun. Hampir seluruh produk CPO dapat diolah menjadi biodiesel, dari yang terbaik dengan kadar free fatty acid (FFA) kurang dari 5 persen hingga Palm Fatty Acid Distillate (PFAD) berkadar FFA lebih dari 70 persen. Belum lagi potensi bahan baku lainnya, misalnya jarak pagar yang dapat tumbuh di lingkungan tandus sekalipun.

Meskipun demikian, sosialisasi penggunaan biodiesel tidak akan berarti tanpa dukungan dari pemerintah. Termasuk standardisasi produk untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Makmuri berharap dalam 2 hingga 3 bulan ke depan, standardisasi biodiesel dapat ditetapkan pemerintah sehingga teknologi pengolahan yang telah dikuasai BPPT dapat segera dikomersialkan.

Selain itu, kesiapan komersialisasi biodiesel ujung-ujungnya adalah harga jual, kata Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, Yogo Pratomo saat melepas rombongan media yang akan meninjau lokasi energi terbarukan di Jawa Barat, Jumat (9/9). Untuk menekan biaya bahan baku dan mendorong investasi, sekarang sedang digodok bentuk insentif dengan Departemen Keuangan. Salah satu yang diusulkan adalah pembebasan pajak impor mesin pengolahan biodiesel seperti yang diterapkan di negara-negara lain.

Dengan demikian harga jual biodiesel dapat bersaing dengan harga solar yang cenderung terus naik tergantung pasokan impor minyak dunia.

Tinggalkan sebuah Komentar

Jarak Pagar sebagai Bahan Baku Biodiesel

Minyak Jarak
Jarak pagar (Jathropa curcas) menjadi sangat populer ketika menyoal energi alternatif ramah lingkungan. Biji-bijinya mampu menghasilkan minyak campuran untuk solar. Selain dari jarak pagar, pada dasarnya minyak yang dihasilkan dari tumbuh-tumbuhan dapat dijadikan bahan campuran solar, misalnya kelapa sawit atau kedelai.

Dari percobaan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), campuran solar dan minyak nabati (biodiesel) memiliki nilai cetane (oktan pada bensin) lebih tinggi daripada solar murni. Solar yang dicampur dengan minyak nabati menghasilkan pembakaran yang lebih sempurna daripada solar murni sehingga emisi lebih aman bagi lingkungan.

“Jika solar murni nilai angka cetane-nya sekitar 47, biodiesel antara 60 hingga 62,” kata Sony Solistia Wirawan, Kepala Balai Rekayasa Desain dan Sistem Teknologi BPPT di Pusat Penelitian Ilmu Penegtahuan dan Teknologi Serpong, Selasa (14/2). Dalam satu liter bahan bakar, komposisi minyak nabati yang dapat digunakan baru 30 persen agar tidak mengganggu mesin yang dipakai kendaraan sekarang. Menurutnya, di beberapa negara maju biodiesel bahkan telah digunakan 100 persen dengan modifikasi mesin. Bahan-bahan dari karet diganti dengan sintesis viton yang tahan minyak.

Meskipun percobaan baru dilakukan untuk minyak nabati dari bahan kepala sawit, menurut Soni, hal tersebut dapat dilakukan juga untuk minyak jarak. Minyak mentah hasil perasan biji kering akan diolah dengan proses trans-esterifikasi menggunakan metanol untuk memisahkan air. Reaksi tersebut tergolong sederhana dan hanya diperlukan sekitar 10 persen metanol. Hampir 100 persen minyak dapat dimurnikan, bahkan menghasilkan produk samping gliserol yang juga bernilai ekonomi.

 

“Satu pabrik ukuran kecil yang ada di Serpong dapat menghasilkan 1,5 ton minyak perhari,” kata Soni. Meskipun demikian, pihaknya sedang mengembangkan mesin pengolah berkekuatan berkapasitas lebih kecil maupun besar untuk kalangan industri. Biaya investasi untuk mesin saja diperkirakan sekitar 800 juta, sedangkan untuk mesin berkekuatan 3 ton perhari mungkin mencapai 2 hingga 3 miliar.

“Secara teknis prosesnya tidak jauh berbeda dengan pengolahan minyak goreng,” katanya. Hanya saja, pasokan bahan baku minyak nabati jumlahnya masih terbatas. Kelapa sawit masih ekonomis diolah menjadi minyak goreng meskipun minyak mentahnya (CPO) yang berkualitas rendah berpotensi untuk diolah menjadi biodiesel.

Jika dibandingkan, jarak pagar mungkin lebih berpotensi daripada kelapa sawit. Jarak pagar yang dapat ditemukan di berbagai wilayah Indonesia baru digunakan sebagai pagar hidup. Tumbuhan bergetah ini dapat tumbuh di mana saja, hidup di berbagai kondisi tanah, dan tahan kekeringan, tidak seperti kelapa sawit, yang membutuhkan lahan khusus, ketinggian daerah, dan faktor iklim tertentu. Oleh karena itu, para peneliti BPPT berharap bahwa pengembangan jarak pagar tidak diarahkan untuk merelokasi lahan subur, namun memberdayakan lahan kritis.

“Produktivitasnya juga tidak jauh berbeda, dalam satu hektar lahan dapat dihasilkan sekitar 5 ton minyak pertahun,” kata Nadirman Haska, Kepala Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT. Satu hektar lahan mampu menghasilkan 25 ton tandan kelapa sawit segar yang dapat diolah menjadi 5 ton CPO sejak tahun ketiga hingga usia produktif 20 tahun.

“Dengan luas lahan yang sama, saya perkirakan dapat ditanam 2.500 batang jarak pagar,” kata Nadirman. Sejak usia 5 hingga 8 bulan, buahnya matang sehingga di tahun pertama pun hasilnya dapat dinikmati. Meski demikian, lanjut Nadirman, mungkin baru dihasilkan sekitar 0,5 ton minyak. Seiring tumbuhnya tanaman, produksinya diharapkan terus meningkat lebih dari 10 ton sejak tahun keenam. Usia produktif jarak pagar diperkirakan antara 20 hingga 50 tahun.

Ongkos perawatan untuk tanaman liar ini juga lebih murah. Nadirman memperkirakan hanya perlu 20 hingga 25 persen pendapatan dari hasil produksinya yang dipakai. Sedangkan untuk kelapa sawit, biaya operasionalnya 40 hingga 50 persen dari besar pendapatan produksinya.

Pada dasarnya pembibitan dapat dilakukan secara generatif atau vegetatif. Namun, pembibitan generatif menggunakan biji tidak disarankan karena menurunkan sifat genetik berbeda, sedangkan dengan stek atau kultur jaringan sifat-sifat unggul dapat dipertahankan pada keturunannya.

Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT telah mengembangkan proses pembibitan sederhana yang dapat dilakukan siapa pun dengan sedikit latihan. Bahkan telah disiapkan cairan nutrisi tanaman untuk mencegah mortalitas (kegagalan) bibit dan merangsang pertumbuhannya dari proses penyiapan hingga siap tanam di ruang terbuka.

Selain itu, teknik kultur jaringan yang membutuhkan teknik lebih rumit di laboratorium terus dikembangkan, termasuk menyiapkan pohon induk yang memiliki sifat-sifat genetik baik yaitu menghasilkan biji besar, buah banyak, dan masa tanam cepat.

Tinggalkan sebuah Komentar